Sabtu, 25 Oktober 2008

SEJARAH PERTANIAN

Kesusastraan
JEJAK INVOLUSI PETANI DALAM PUISI
Kompas 19 April 2008
Oleh Andreas Maryoto

Keindahan sawah dan keriangan petani tinggal kenangan. Ungkapan-ungkapan sentimentil tentang keelokan kampung halaman dengan sawah yang membentang, gunung yang membiru, dan air yang jernih adalah cerita masa lalu. Pemandangan yang indah telah berganti dengan penderitaan petani.
Kini kehidupan petani yang susah yang sebenarnya ada. Setidaknya puisi menjadi cerminan itu. Ketika pejabat masih mengatakan petani sejahtera, puisi telah menyatakan keadaan yang sebenarnya. Ketika data-data produksi padi disodorkan meningkat, puisi telah menyodorkan kabar sesungguhnya tentang derita dan bencana petani. Puisi sesungguhnya berbicara lebih dari sekadar angka-angka.
Adalah angkatan Pujangga Baru (1930-1942) yang boleh dibilang meletakkan alam sebagai sumber inspirasi puisi dalam kesusastraan modern Indonesia. Ketika gaya pantun dan syair mulai ditinggalkan, puisi romantis yang dipelopori angkatan Pujangga Baru menjadi roh baru dalam dunia kesusastraan kala itu.
Angkatan ini dengan kegelisahan zamannya mengangkat tema-tema romantis, di antaranya tentang kampung halaman. Angkatan Pujangga Baru dipengaruhi oleh Angkatan 80 di Belanda yang beraliran romantisme. Meski demikian, Prof Ahmad Samin Siregar dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara mengatakan, aliran romantisme masuk ke Indonesia sekitar 30 tahun setelah aliran itu berkembang di Belanda. Siregar mengatakan, puisi-puisi zaman Pujangga Baru memang diwarnai dengan kerinduan terhadap tanah kelahiran dan kampung halaman.
Sutan Takdir Alisjahbana dalam artikel bersambung berjudul Poeisi Indonesia Zaman Baroe di dalam Majalah Poedjangga Baroe, 7 Januari 1935, menyebutkan, "Dalam seni segala masa amat pentinglah perhoeboengan antara manoesia dengan alam sekelilingnja. Sebabnja lain dari pada soember inspirasi, alam jang pelbagai ragam itoe bagi ahli seni adalah teladan jang tiada habis-habisnja".
Sawah dan petani sudah pasti menjadi konteks yang tepat ketika berbicara mengenai alam dalam sastra Indonesia kala itu. Beberapa penulis puisi dengan karya-karyanya yang menyinggung panorama sawah dan kehidupan petani, antara lain penulis dengan inisial Mozasa (kemungkinan Zain Saidi, koresponden Poedjangga Baroe di Kisaran, Sumut) dengan judul Amanat. Pada bait ketiga berbunyi, "hanja sekedjap akoe berpaling/menoleh tanah indah beraloer/dengan mata berair dan silau/serta kening berkeroet maroet/bingkah-bingkah tanah jang besar/tipis soembing dibongkar soengkal/berserak rata gemboer berkilat/gemerlapan mengoeat gairat".
S Yudho (inisial dari S Yudhodipuro, koresponden Poedjangga Baroe di Yogyakarta) pada bait empat sampai enam puisi berjudul Fadjar menulis, "di sawah padi mengaloen diajoen/ Sepoi, menggerosok rimboen dikeboen/ di saat sepi// koetindjau emboen di daoen berkilau/ba' nilam disinar seroja menjilau/di pagi hari//Mendengar akoe peladang berlagoe/ Menoedjoe ke sawah tjangkoel dibahoe/Bersenang hati".
Sawah
Sanusi Pane menulis puisi dengan judul Sawah dan Menumbuk Padi. Ia menjadi sastrawan Pujangga Baru yang banyak mengungkap keindahan panorama sawah dengan kalimat-kalimat yang indah. Sanusi Pane melihat alam selalu gembira dan merupakan sumber inspirasi yang tak pernah habis.
Tema-tema sawah dan pertanian kembali berlanjut setelah perang kemerdekaan. Trisno Sumardjo pada 24 Desember 1951 menulis puisi dengan judul Pinggir Sawah. Salah satu baitnya berbunyi, "dalam bayangan daun mendesau/hati mengaji hikmat yang sedap/alangkah sukur bekerja di sini di tengah rahmat kaum petani/dan di medan kehijauan terlaksana bahagia/manusia pertama di permulaan zaman". Judul puisi ini menjadi judul antologi puisi dwi bahasa Indonesia-Jerman yang berisi kumpulan para sastrawan Indonesia. Buku ini diterbitkan tahun 1990.
Pada tahun 1958 sepulang dari Eropa, Ramadhan KH menerbitkan kumpulan puisi berjudul Priangan si Jelita. Meski tidak menyebut sawah, ia menggambarkan tanah kelahirannya begitu indah. Panorama hijau yang ada di Cianjur-Bandung memesonanya. Inilah konteks ketika Priangan si Jelita ditulis.
Ajib Rosidi dalam Hanya dalam Puisi menulis, "kulempar pandang ke luar/sawah-sawah dan gunung-gunung/lalu sajak-sajak tumbuh/dari setiap butir peluh/para petani yang terbungkuk sejak pagi/melalui hari-hari keras nan Sunyi.
Subagio Sastrowardojo menulis puisi dengan judul Nawang Wulan (yang Melindungi Bumi dan Padi). Pada bait ketiga puisi itu berbunyi, "tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu/tapi jaga ladang yang baru sehari digaru/anak minta ditimang/ladang minta digenang/lalu panggil aku turun di teratakmu".
Romantisme
Hingga pada masa setelah itu kita masih bisa merasakan romantisme kehidupan petani dan panorama sawah. Sudah pasti aliran romantisme tidak hanya di puisi, tetapi juga pada seni lainnya.
Akan tetapi, belakangan, puisi-puisi yang ada mulai menyadarkan kita pada keadaan petani sesungguhnya. Tema-tema romantika sawah dan petani makin jarang. Yang muncul adalah tema-tema realisme sosial.
Banyak penulis yang gelisah dengan kehidupan petani. Sawah tidak lagi menarik. Kalau toh ada yang mendayu-dayu memuji keelokan sawah, tetap saja puisi mereka menyelipkan hal yang getir. Puja-puji bentang alam nan hijau tidak ada lagi dalam puisi-puisi yang ada pada masa sekarang.
Nanang Suryadi menulis puisi berjudul Pamflet Banten Selatan yang dalam salah satu baitnya tertulis, "hanya berkilometer dari Jakarta/kemiskinan nampak pada wajah saudara yang tak pernah menemukan pendidikan/apa yang kau bayangkan pada ladang dan sawah yang tak bisa mensejahterakan.
Di salah satu situs internet, ada nama Sanak Lembang Alam menulis puisi dengan judul Ketika. Bait ketiga berbunyi, "Air, dimana-mana air melimpah meruah membanjiri lembah/Dan sawah berpuluh, beratus, beribu hektar sawah, kang Cecep/Semua tenggelam ditelan air bah yang sangat dahsyat/Padi yang baru setinggi betis mulai akan berisi umbut/Handam karam tak berdaya, kang Cecep/Tambak udang dan ikan bandeng hilang lenyap tak berbekas".
Sebuah antologi puisi berjudul Bebegig (1998) penuh dengan keresahan di sawah. Puisi Asep GP berjudul Tembang berbunyi, "aku dengar sayup-sayup/kodok-kodok menembang/minta hujan/suaranya tersangkut di tenggorokan//sungai/aswah/di belakang rumah/Kering//Ikan-ikan menggelepar lemas/Kodok-kodok menembang minta hujan.
Ada juga puisi Tias Tatanka yang berjudul Orang-orangan Sawah yang berbunyi, "Orang-orang sawah tak ada lagi/belantara sawah petak-petak padi/mengusir burung-burung/mengusir kantuk petani/mengusik angina-angin//tak ada cerita kencil di badanmu/tak ada topi petani menakuti burung/tak ada rentang tangan kaku/tak ada gubuk/tak ada orang-orangan di sawahku".
Puisi Tias lainnya berjudul Petani Tertawa Karena Buncit Perutnya makin menyiratkan kegetiran yang mendalam. Ia menulis, "petani tertawa buncit perutnya bergoyang/isinya angin dan air mata/desaku kekeringan air mata mata air tak bisa keluar/sawahku hanyut diterpa angin/burung-burung pindah tak punya sarang/gembala melego seruling kerja jadi buruh di kota/petani tertawa anaknya tak sekolah/ikut kerja adalah nomor satu/yang penting ada duitnya/untuk beli beras yang ditanam sendiri/beli gula yang tak bisa dinikmati rasa manisnya/tak ada daging karena sapi tak punya/ayam-ayam hilang ditelan serigala/serigala ada di seluruh penjuru desa/anak-anak tak kenal orang-orangan sawah/petani tertawa melihat orang kota/pakai dasi mengelilingi desa/tertawa tanahnya diincar/"lha, itu artinya tanah saya diharagi mahal!"//(meski tak tahu nanti pindah ke mana).
Kemerosotan petani memang benar-benar sudah terjadi seperti dalam puisi-puisi belakangan ini. Proses itu akan terus terjadi hingga banyak petani mati bila keadaan ini dibiarkan begitu saja.
Puisi telah menjadi cermin kegelisahan itu. Kemerosotan alias involusi petani memang nyata di sekitar kita.